Kesalahan Istikharah SBY dalam Memilih Cawapres Boediono

SBY, Jangan Main-main dengan Istikharah!

Baru-baru ini aku membaca gugatan dua orang blogger mengenai istikharahnya SBY dalam memilih cawapres Boediono. Blogger pertama (nirwansyahputra) langsung menegur, “SBY, Jangan Main-main dengan Istikharah!” Blogger kedua (nusantaraku) mempertanyakan, “Dan apakah sosok ekonom seperti Boediono memang merupakan pilihan Tuhan untuk memimpin negeri ini? Apakah Tuhan memang memilih sosok ekonom yang enggan membantu rakyat kecil disisi lain senang membantu pengusaha kaya? Atau sebaliknya, “istikharah” hanyalah kedok politik atas nama Agama?

Kedua blogger tersebut menggunakan sudut pandang logika dalam analisis mereka. Di sini, aku hendak menggunakan sudut pandang agama Islam. Kebetulan, masalah istikharah bukanlah perkara yang asing bagiku. (Selama ini, ada dua buku karyaku mengenai istikharah, yaitu Rahasia Sholat Istikharah dan Istikharah Cinta.)

Pertanyaan yang hendak kujawab dalam postingan ini adalah: Apakah dalam memilih Boediono sebagai cawapres, SBY sudah melakukan istikharah sesuai dengan ajaran agama Islam? Kalau belum sesuai, di manakah letak kesalahannya atau kekurangsempurnaannya?

An-Nawawi menjelaskan, “Disunahkan untuk bermusyawarah sebelum melakukan istikharah.” (Al-Mausu’ah al-Kuwaitiyyah, 3/243) Salah satu dalilnya, Allah SWT berfirman: “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah mengambil keputusan [seusai musyawarah dan istikharah], maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS Ali ‘Imran: 159)

Pada kenyataannya, dalam menetapkan pilihan Boediono sebagai cawapres, SBY tidak bermusyawarah lebih dulu dengan partai-partai pendukung koalisinya. SBY hanya menyampaikan informasi setelah keputusan itu beliau ambil. (Lihat “Empat Parpol Koalisi Merasa Tak Diajak Bicara“.)

Tidak bermusyawarah lebih dulu itulah salah satu kesalahan atau kekurangsempurnaan istikharahnya SBY dalam memilih Boediono sebagai cawapresnya. Jadi, istikharah yang beliau lakukan itu belum sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam.

Wallaahu a’lam.

3 Komentar

  1. Dari kalimatnya itu saya menebak, dia ingin mengatakan bahwa pemikiran ekonomi Boediono tak sepenuhnya menyerahkan semua urusan pada pasar (seperti kini marak ditudingkan kepadanya). Perlu juga sebuah campur tangan pemerintah, ketika mekanisme pasar menimbulkan sebuah ketidakadilan.

    Di antara para bekas mahasiswa lainnya, yang kemudian juga muncul adalah kepingan-kepingan ingatan lama ketika Boediono mengajar hampir dua dekade silam. Rata-rata kesan yang membayang yaitu sosok Boediono yang bersahaja.

    Setelan baju lengan pendek putih, celana pantalon abu-abu dan sepatu sandal hitam, menjadi trademark-nya setiap kali mengajar saban Sabtu pagi pukul 07.00. “Mata ini masih ngantuk seperti diganduli jin,” kata seorang bekas mahasiswanya. Tapi itulah bukti kesetiannya pada dunia akademik. Dosen terbang ini boleh dibilang hampir tak pernah mengabaikan mahasiswanya, meski ia musti mondar-mandir Jakarta-Yogya.

    Cara mengajarnya pun tak rumit dan keminter seperti tesis tebalnya yang legendaris di perpustakaan FE-UGM tentang makroekonomi Indonesia. Malah cenderung sederhana, sesimpel seri buku sinopsis tipis (ekonomi makro, mikro, dll) yang memang sengaja dibuat untuk memudahkan para mahasiswa mempelajari teori-teori ekonomi yang rumit. Karena itulah, buku ini menjadi buku teks wajib di kampus-kampus di Yogya umumnya.

    Melengkapi cerita Bung Faisal Basri di Kompasiana soal kesederhanaan Boediono, sejumlah bekas mahasiswanya punya cerita berbeda-beda:

    Seorang staf ahlinya pernah bercerita ia malu bukan kepalang, ketika mendapati kebersahajaan hidup Boediono dan istrinya. Mobilnya bukan hanya tua dan tak mentereng, bahkan jendela mobil itu sudah macet tak bisa lagi menutup rapat. Ketika hujan datang, terpaksa payung yang dijadikan penangkal basah.

    Ada lagi cerita lain yang membuat sejumlah petinggi Depkeu rikuh bukan kepalang ketika mereka akan terbang bermain golf ke Yogya. Ketika mereka sudah duduk nyaman di kelas bisnis, tiba-tiba Boediono lewat dan duduk di kelas ekonomi untuk balik ke rumahnya di Yogya. Spontan para petinggi tadi menghampirinya dan mempersilakan Boediono duduk di kelas bisnis. Tapi, sang Bos hanya tersenyum dan menolaknya.

    Yang lain bercerita soal kebiasaan Pak Boed yang duduk di kursi tunggu bandara untuk umum sambil baca koran ketimbang duduk di kursi nyaman Executive Lounge. Pernah juga seorang bekas mahasiswanya “memergoki” Boediono dan istri sedang antre di gerai Indosat di lobby gedung Artha Graha, ketika baru saja lengser dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan di zaman Megawati.

    Yang menarik, di balik sosoknya yang murah senyum, Boediono memiliki ketegasan bersikap tanpa pandang bulu. Menurut salah seorang stafnya di pemerintah, pernah suatu kali ia melengserkan kolega seniornya dari kampus yang sama di departemen yang ia pimpin gara-gara kedapatan menyelewengkan dana.

    Ketegasan sikap inilah yang kemudian juga membawanya pada titik benturan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt dan monorel, yang menuntut adanya jaminan pemerintah atas pembiayaan proyek tersebut.

    Menurut seorang pejabat pemerintah, Boediono selaku Menko Perekonomian berkeras tak mau menyetujuinya, karena khawatir jika di kemudian hari terjadi apa-apa dengan proyek itu, pemerintahlah yang harus nombok. Tapi, akhirnya ia menyerah dan memasrahkan putusan pada JK, dengan catatan keberatannya dicatat. Sikapnya inilah yang di kalangan pengusaha kemudian membuahkan stempel: sosok Boediono yang lamban.

    Di balik sosoknya yang pendiam, Boediono juga menyimpan kedisiplinan bersikap. Ketika dia tak lagi menjabat Menteri Keuangan setelah Megawati lengser, ia memilih mengunci mulutnya, tak memberikan komentar sepatah pun atas berbagai kebijakan para penggantinya. “Nanti saya malah mengganggu,” ujarnya saat itu.

    (tulisan 1 dari 2 tulisan) sumber Tempo

    BalasHapus
  2. (tulisan 2 dari 2 bagian)
    Seingat saya, ia baru buka suara ketika menyampaikan paparan ilmiah dalam sebuah forum internasional. Di forum itu, Boediono memaparkan tentang eratnya korelasi antara peningkatan pendapatan per kapita penduduk Indonesia dan upaya menjamin tegaknya demokrasi.

    Kini, ketika nama Boediono muncul dalam bursa calon wakil presiden, suara pro-kontra langsung merebak.

    Sejujurnya saya tak tahu persis apakah dia figur yang tepat untuk jabatan itu, dan apakah duet SBY-Boediono tepat buat Indonesia lima tahun ke depan. Berbagai kebijakan ekonomi yang telah diambilnya selama ini pun bisa jadi mengandung cacat dan bolong di sana-sini, sehingga sah-sah saja untuk diperdebatkan.

    Tapi, yang saya tahu persis, negeri ini membutuhkan keteladanan sikap seorang pemimpin seperti yang ditunjukkan Boediono. Sama seperti kita mendambakan figur-figur bersih, tegas dan bersahaja semacam Hoegeng, Hatta, dan lainnya.

    Terhadap berbagai tudingan yang kini mengarah kepadanya, Boediono memang belum banyak berkomentar. Tapi, ada baiknya saya posting ulang cuplikan wawancara Tempo dengannya tiga setengah tahun lalu, ketika ia baru saja diminta SBY menggantikan Aburizal Bakrie sebagai Menko Perekonomian. Termasuk, tanggapannya soal sejumlah isu kontroversial, seperti kenaikan harga BBM, privatisasi dan cap Neoliberal yang disematkan kepadanya.

    Waktu itu, apa pendapat Anda soal rencana kenaikan harga BBM?
    Hmm…(Boediono terdiam dan hanya tersenyum). Ndak-lah. Pokoknya, yang sudah diputuskan harus kita amankan dari segi dampak negatifnya.

    Anda terkenal sebagai menteri yang berpandangan konservatif. Apakah ini akan dipertahankan?

    Stabilitas itu harus dijaga jangan sampai lepas. Kalau sampai lepas, kita bisa masuk lagi ke mini-crisis. Menjaga stabilitas itu seperti menjaga kesehatan kita sendiri. Kalau kita lihat ada yang sedikit sakit atau kelihatan kurang sehat, harus segera diobati. Itu kiatnya mengendalikan ekonomi makro. Jadi, bukan berarti stabil itu lemah. Stabil itu menjaga keseimbangan. Begitu juga dengan perekonomian. Kalau kita mengayuh tapi tidak seimbang, kita bisa jatuh.

    Beban pembayaran utang tahun depan amat berat. Apakah ada rencana meminta pemotongan utang?

    Saya setuju (ada pemotongan utang) kalau memang ada jalan keluar yang tidak mempengaruhi stabilitas. Kalau kita ekstrem, misalnya ngemplang, apa yang akan terjadi? Semua aset dan hasil-hasil ekspor kita di luar negeri juga akan dikemplang, disita.

    Soal privatisasi?

    Saya kira kebijakan privatisasi perlu diperjelas. Tapi, karena saya sudah masuk kabinet, bukan pengamat, lebih baik saya diam.

    Anda kerap dilekatkan dengan label pro-IMF dan penganut paham neo-liberal….

    Label-label besar itu apakah ada gunanya bagi rakyat? Menurut saya, yang penting mana yang memberikan manfaat dan kesejahteraan terbesar. Kalau kita terikat dengan ideologi-ideologi, ya repot. Tuntutan rakyat itu cuma dua hal: harga-harga kebutuhan yang stabil dan pendapatan yang bisa diandalkan. Ini artinya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.

    Siapa yang paling Anda kagumi?

    Mohammad Hatta. Karena, sebagai ekonom, wawasannya luas sekali. Dari segi aspek ekonomi maupun politik, perhitungannya total. Sebagai pribadi, dia juga sangat saya kagumi.

    Kalau ekonom dunia?

    Ekonom dunia saya nggak tahu banyak. Lebih baik ekonom Indonesia saja yang saya kagumi.

    Anda dikenal tak pernah mau direpotkan dengan urusan protokoler. Kenapa?

    Kalau, misalnya, saya kembali ke Yogya, ya, paling bahagia kalau saya dijemput oleh istri sendiri. Itu kan soal kebahagiaan. Saya nggak mau pakai Mercy, maunya pake mobil Honda Civic yang biasa dibawa oleh istri saya saja. Selain itu, saya berpikir apakah saya begitu pentingnya, kok diperlakukan seperti raja.

    Sumber: Majalah Tempo

    BalasHapus
  3. Boediono: “Neolib” yang bersahaja
    penulis: Metta Dharmasaputra (majalah TEMPO)
    Seorang kawan lama yang tengah menempuh program doktoral melempar kerisauannya dari Inggris ke milis Fakultas Ekonomi UGM. “Di mana letak Neolibnya Pak Boed? Apa karena dia lulusan Amerika?,” ujarnya. “Seingatku, sewaktu ambil kuliah ekonomi industri, Pak Boed mengajarkan perkembangan hukum anti-trust, anti monopoli atau anti-cartels (Sherman Act, Clayton Act). Dan setiap pemikiran (ekonomi) selalu ada keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Bahkan setelah tiga tahun di UK aku bisa melihat kelemahan “welfare state” nya gaya Eropa yang sejalan dengan cita-cita sebagian besar partai politik di Indonesia.”

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama